Kamis, 02 Desember 2010

KEMISKINAN


KEMISKINAN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Kemiskinan sesungguhnya telah menjadi masalah dunia sejak berabad- abad lalu. Namun, realitasnya, hingga kini kemiskinan masih menjadi bagian dari persoalan terberat dan paling krusial di dunia ini. Teknologi boleh semakin maju, negara-negara merdeka semakin banyak, dan negara-negara kaya boleh saja kian bertambah (pun semakin kaya). Tetapi, jumlah orang miskin di dunia tak kunjung berkurang. Kemiskinan bahkan telah bertransformasi menjadi wajah teror yang menghantuidunia
Bagaimana gambaran kemiskinan yang melingkupi kita saat ini? Data World Bank 2006 menunjukkan, setidaknya terdapat 1,1 milyar penduduk miskin di dunia. Jumlah penduduk miskin di Indonesia (yang dikategorikan supermiskin
oleh World Bank) pada tahun 2007 mencapai 39 juta orang atau 17,75 persen dari total populasi.
            Dalam sebuah Negara yang Sedang Berkembang (NSB) banyak sekali permasalahan-permasalahan yang sangat komplek untuk ditangani yang terkadang hal ini menjadi sebuah penghambat bagi perkembangan negara untuk maju tahap selanjutnya.
Salah satu permasalahan yang menjadi prioritas perhatian dari pemerintah adalah kemiskinan, hal ini pun sangatlah berpengaruh besar terhadap perkembangan negara. Tingkat perkembangan jumlah penduduk yang tinggi dan tingkat kemiskinan yang mengikutinya mesti dijadikan pemicu bagi kelancaran program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan bukannya menjadi faktor penghambat.
            Namun mengenai masalah kemiskinan ini bukan hanya dialami oleh NSB saja, bahkan sebuah negara yang maju pun memiliki permasalahan ini, namun tidak separah yang dialami oleh negara yang sedang berkembang. Hal ini tercermin dari konferensi tingkat tinggi dunia yang berhasil menggelar Deklarasi dan Program Aksi untuk Pembangunan Sosial (World Summit in Social Development) di Compenhagen pada tahun 1995.
            Mengenai penanganan permasalahan kemiskinan ini beberapa usaha yang dilakukan oleh pihak pemerintah ataupun swasta menunjukan bahwa adanya kepedulian untuk meningkatkan perekonomian masayarakat secara keseluruhan seperti yang tertuang dalam UUD Tahun 1945. Berbagai model penanganan kemiskinan yang telah dijalankan cukup banyak, misalnya Program Kesejahteraan Sosial Kelompok Usaha Bersama Keluarga Muda Mandiri (Prokesos KUBE KMM), Tabungan Kesejahteraan Rakyat (Takesra), Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Kukesra), Kredit Usaha Kecil Menengah, dan Jaring Pengaman Sosial..
            Pada dekade 1976-1996, persentase penduduk miskin di Indonesia pernah mengalami penurunan yaitu dari 40,1% menjadi 11,3%, namun pada periode 1996-1998 angka ini menjadi 24,29% atau 49,5 juta jiwa. Bahkan International Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3% (BPS, 1999). Pada tahun 2002, persentase kemiskinan telah mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah mereka masih tergolong tinggi, yaitu 43% atau sekitar 15,6 juta (BPS dan Depsos 2002). Diantara angka tersebut, diduga jumlah fakir miskin relatif banyak. Tanpa mengurangi arti pentingnya pembangunan yang sudah dilakukan, angka kemiskinan tersebut mengindikasikan konsep model yang dibangun belum mampu membentuk sosial ekonomi masyarakat yang tangguh.
            Beberapa koreksi dari para ahli menunjuk, bahwa salah satu permasalahan yang mendasar adalah orientasi pembangunan ekonomi yang kurang berpihak pada golongan berpenghasilan rendah ekonomi (grass root). Kondisi ini tercermin dari konsentrasi industrialisasi berskala menengah ke atas, sehingga sektor ekonomi yang dijalankan oleh sebagian besar masyarakat kurang diperhitungkan.


1.2 Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud dengan kemiskinan?
2.      Apa penyebab terjadinya kemiskinan? 
3.      Apa saja kriteria kemiskinan?
4.      Bagaimana potret kemiskinan di Indonesia?                                                      

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
            Tujuan utama penulisan adalah menggambarkan bagaimana kemiskinan dapat coba diatasi dengan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang sudah dilaksanakan pemerintah dan peran aktif semua anggota masyarakat guna mendukung program tersebut agar berjalan dengan baik dan menuai hasil yang diharapkan.


BAB II
LANDASAN TEORI DAN HUKUM

1. UU nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
    bab IV tentang penanggulangan kemiskinan:
            -pasal 19
            -pasal 20
            -pasal 21
            -pasal 22
            -pasal 23
2. UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional          

 
BAB III
ANALISIS (KAJIAN) DATA
2.1  Definisi Kemiskinan
            Menurut Suparlan (1995: xi) kemiskinan dapat didefinisikan sebagai
suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat
kekurangan materi pada sejumlah atau golongan orang dibandingkan dengan
standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya
terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka
yang tergolong sebagai orang miskin.
            Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (1993: 3) menjelaskan kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena
dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena tidak dapat dihindari dengan
kekuatan yang ada padanya. Pendapat lain dikemukakan oleh Ala dalam
Setyawan (2001: 120) yang menyatakan kemiskinan adalah adanya gap atau
jurang antara nilai-nilai utama yang diakumulasikan dengan pemenuhan kebutuhan akan nilai-nilai tersebut secara layak.
            Menurut Chambers dalam Ala (1996:18), ada lima ketidakberuntungan yang melingkari kehidupanorang atau keluarga miskin yaitu:
a. kemiskinan (poverty);
b. fisik yang lemah (physical weakness);
c. kerentanan (vulnerability);
d. keterisolasian (isolation);
e. ketidakberdayaan (powerlessness).
kelima hal tersebut merupakan kondisi nyata yang ada pada masyarakat
miskin di negara berkembang.                              
 Kemiskinan menurut Kantor Menteri Negara Kependudukan/ BKKBN
(1996: 10) adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup
memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan yang dimiliki dan juga
tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya untuk
memenuhi kebutuhannya.
Miskin atau kurang sejahtera dalam pengertian Pembangunan Keluarga Sejahtera diidentikkan dengan kondisi keluarga
sebagai berikut:
1. Pra Sejahtera, adalah keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi
    kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan,
    sandang, papan, kesehatan, dan keluarga berencana. Secara operasional
    mereka tampak dalam ketidakmampuan untuk memenuhi salah satu
    indikator sebagai berikut:
    a. Menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya;
    b. Makan minimal 2 kali per hari;
    c. Pakaian lebih dari satu pasang;
    d. Sebagian besar lantai rumahnya bukan dari tanah;
     e. Jika sakit dibawa ke sarana kesehatan.
2. Keluarga Sejahtera I, adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi
    kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi
    kebutuhan sosial dan psikologis, seperti kebutuhan pendidikan, interaksi
    dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal dan
    transportasi. Secara operasional mereka tidak mampu memenuhi salah satu
    indikator sebagai berikut:
    a. Menjalankan ibadah secara teratur;
    b. Minimal seminggu sekali makan daging/telur/ikan;
    c. Minimal memiliki baju baru sekali dalam setahun;
    d. Luas lantai rumah rata-rata 8 m² per anggota keluarga;
    e. Tidak ada anggota keluarga yang berusia 10 – 60 tahun yang buta huruf
        latin;
    f. Semua anak berusia 7 sampai dengan 15 tahun bersekolah;
    g. Salah satu anggota keluarga memiliki penghasilan tetap;
    h. Dalam 3 bulan terakhir tidak sakit dan masih dapat melaksanakan
        fungsinya dengan baik.
           


            Diketahui pula bahwa keadaan yang serba kekurangan ini terjadi
bukan seluruhnya karena kehendak keluarga yang bersangkutan tetapi karena
keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh keluarga sehingga telah
membuat mereka termasuk keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I.
Keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I itu dibagi atas dua kelompok, yaitu:
1. Karena alasan ekonomi/keluarga miskin yaitu keluarga yang menurut
    kemampuan ekonominya lemah dan miskin. Keluarga-keluarga semacam
    ini mempunyai sifat seperti yang dalam indikator yang dikembangkan oleh
    BPS dan Bappenas, yaitu keluarga yang secara ekonomis memang miskin
    atau sangat miskin dan belum bisa menyediakan keperluan pokoknya
    dengan baik;
2. Karena alasan non ekonomi yaitu keluarga yang kemiskinannya bukan
    karena pada harta/uang atau kemampuan untuk mendukung ekonomi
    keluarganya tetapi miskin kepeduliannya untuk mengubah hidupnya
    menjadi lebih sejahtera misalnya dalam hal partisipasi pembangunan dan
    kesehatan dengan membiarkan rumahnya masih berlantai tanah padahal
    sebenarnya ia mampu untuk memplester lantai rumahnya atau kalau
    anaknya sakit tidak dibawa/diperiksa ke puskesmas.
            Dengan demikian dana Kukesra dimaksudkan untuk diberikan kepada
    keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I alasan ekonomi yang mempunyai usaha
    ekonomi produktif.

2.2  Penyebab Kemiskinan
            Sen dalam Ismawan (2003: 102) mengutarakan bahwa penyebab kemiskinan dan keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas. Akibat
keterbatasan dan ketertiadaan akses maka manusia mempunyai keterbatasan
(bahkan tidak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya, kecuali
menjalankan apa terpaksa saat ini yang dapat dilakukan (bukan apa yang
seharusnya dilakukan). Dengan demikian manusia mempunyai keterbatasan
dalam melakukan pilihan, akibatnya potensi manusia untuk mengembangkan
hidupnya menjadi terhambat.
            Menurut Kuncoro (2000: 107) yang mengutip Sharp, penyebab kemiskinan adalah:
1. Secara mikro kemiskinan minimal karena adanya ketidaksamaan pola
    kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang
    timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah
    terbatas dan kualitasnya rendah;
2. Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia.
    Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya
    rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber
    daya ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung,
     adanya diskriminasi, atau karena keturunan;
3. Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.
    Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan              kemiskinan (vicious circle poverty). Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas sehingga mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka
terima.  
            
2.3  Kriteria Kemiskinan
            Berdasarkan studi SMERU, Suharto (2006:132) menunjukkan sembilan           kriteria yang menandai kemiskinan:
1)      Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang,pangan dan papan).
2)      Ketidak mampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
3)      Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan soaial (anak terlantar,wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).
4)      Rendahnya kualitas sumberdaya manusia (buta huruf,rendahnya pendidikan dan keterampilan ,sakit-sakitan) dan keterbatasan sumber alam (tanah tidak subur,lokasi terpencil,ketiadaan infrastruktur jalan,listrik,air).
5)      Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual (rendahnya pendapatan dan asset), maupun massal (rendahnya modal sosial, ketiadaan fasilitas umum).
6)      Ketiadaan akses terhdap lapangan kerja dan mata pencaharian yang memadai dan berkesinambungan.
7)      Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan,pendidika,sanitasi,air bersih dan transportasi).
8)      Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga atau tidak adanya perlindungan sosial dari negara dan masyarakat).
9)      Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.
 
2.4  Potret kemiskinan di Indonesia
            Indonesia adalah negara yang masih menghadapi problema kemiskinan akut. Belum lama ini, media Indonesia menyajikan hasil survei terhadap 480 responden yang diambil secara acak dari daftar pemilik telepon enem kota besar di Indonesia (Jakarta,Bandung,Yogyakarta,Surabaya,Medan dan Makassar).Responden ditanya bagaimana pendapatnya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari saat ini, apakah dirasakan semakin berat atau ringan.           
            Mayoritas responden (73%) merasakan bahwa pemenuhan kebutuhan sehari-hari semakin berat, sebanyak 21% responden merasakan sama saja dan hanya 6% yang merasakan semakin ringan. Ketika ditanyakan apakah sekarang ini sulit mencari pekerjaan  baru dirasakan semakin sulit atau semakin mudah, sebagian besar (89%) merasakan semakin sulit mencari pekerjaan baru, sebanyak 5% responden merasakan sama saja, 4% merasakan makin mudah dan 2% tidak tahu.
            Hasil survei ini sejalan dengan wajah kemiskinan agregat, baik berdasarkan garis kemiskinan (poverty line) dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human development index (HDI) dari United Nations Development Programme (UNDP), maupun garis kemiskinan $S per hari yang dikembangkan Bank Dunia.
            Institude for development of economics and finance (Indef) memproyeksikan jumlah penduduk miskin pada tahun 2009 mencapai 40 juta orang (16,8%). Jumlah ini meningkat sekitar 5 juta dibandingkan hasil survei BPS pada Maret 2008, yang mencatat penduduk miskin sebanyak 35 juta jiwa (15,4%).
            Pada tahub 2007, jumlah penduduk miskin adalah 37,17 juta orang atau 16,58% dari total penduduk Indonesia. Satu tahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 39,9 juta orang atau sebesar 17,75%  dari total jumlah penduduk Indonesia tahun tersebut. Meskipun terjadi penurunan sebesar 2,13 juta jiwa,secara absolute angka ini tetap saja besar melampaui keseluruhan jumlah penduduk Selandia Baru(4 juta), Australia (12 juta), dan Malaysia (25 juta).
Angka kemiskinan ini menggunakan poverty line dari BPS sekitar Rp5.500 per kapita per hari.

Jika menggunakan poverty dari Bank Dunia sebesar $2 per kapita per hari, diperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia berkisar antara 50-60 % dari total penduduk.
            Laporan United Nations Development Programme (UNDP), Human Development Report 2007/2008, memperlihatkan peringkat IPM Indonesia tahun 2007 berada diurutan 107 dari 177 negara. Selain semakin jauh tertinggal oleh Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Filipina (90), peringkat Indonesia juga sudah terkejar oleh Vietnam (105) yang pada tahun 2006 berada diperingkat 109.Tanpa perbaikan strategi pembangunan ekonomi dan sosial secara mendasar, peringkat IPM Indonesia tidak menutup kemungkinan segera disusul oleh Laos (130), Kamboja (131) dan Myanmar (132) d tahun-tahun mendatang.
            Indikator pokok IPM menggambarkan tingkat kualitas hidup sekaligus kemampuan manusia Indonesia. Indikator angka harapan hidup menunjukkan dimensi umur panjang dan sehat, indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah memperlihatkan keluaran dari dimensi pengetahuan dan indikator kemampuan daya beli mempresentasikan dimensi hidup layak.
            Dengan demikian, rendahnya petringkat IPM Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan manusia Indonesia masih berada di tingkat bawah. Bahkan, karena indikator IPM hakekatnya merujuk pada konsep basic human capabilities, dapat dikatakan bahwa kemampuan masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar saja ternyata masih ketar-ketir. Dengan kata lain, alih-alih hidup berkecukupan, masyarakat Indonesia masih belum bisa terbebas dari lilitan kemiskinan.


 BAB IV
KESIMPULAN

            Berdasar uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa dalam mengatasi masalah kemiskinan diperlukan kajian yang menyeluruh (comprehensif), sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang program pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih menekankan pada konsep pertolongan. Pada konsep pemberdayaan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu (berdaya) baik secara fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya. Dalam konteks ini, mereka dipandang sebagai aktor yang mempunyai peran penting untuk mengatasi masalahnya.



DAFTAR PUSTAKA

Suharto,Edi.2009.Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di    Indonesia.Bandung:Alfabeta
UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional  
UU nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosia

Rabu, 01 Desember 2010

PENGORGANISASIAN DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT


PENGORGANISASIAN DAN PENGEMBANGAN MAYARAKAT


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

Pengorganisasian dan pengembangan masyarakat (PPM) atau community organization or comunity development (COCD)  merupakan perencanaan, pengorganisasian, atau proyek dan atau pengembangan berbagai aktivitas pembuatan program atau proyek kemasyarakatan yang tujuan utamanya meningkatkan taraf hidup atau kesejahteraan sosial masyarakat.Sebagai suatu kegiatan kolektif,  PPM  melibatkan beberapa aktor, seperti pekerja sosial, masyarakat setempat, lembaga donor, serta instansi terkait yang saling bekerja sama mulai dari perancangan, pelaksanaan, samapai evaluasi terhadap program atau proyek tersebut.
PPM sangat memperhatikan keterpaduan antara sistem klien dengan lingkungannya.Sistem klien bisa bervariasi, mulai dari individu, keluarga, RT, tempat kerja, rumah sakit dll.Dalam PPM, pekerja sosial menempatkan masayarakat sebagai sistem klien dan sistem lingkungan sekaligus.Karenanya pengetahuan dan ketrampilan yang harus dikuasai oleh pekerja sosial yang akan terlibat dalam PPM meliputi pengetahuan tentang masyarakat, organisasi sosial, perkembangan, perilaku manusia, dinamika kelompok, program sosial dan pemasaran sosial.

1.2  Rumusan masalah
1)      Apa yang dimaksud dengan pengorganisasian dan pengembangan masyarakat?
2)      Apa tujuan dari PPM?
3)      Apa fungsi dari PPM?
4)      Prinsip apa saja yang ada dalam PPM?
5)      Perspektif apa saja yang ada dalam PPM?
6)      Model apa saja yang ada dalam PPM?
7)      Bias apa saja yang ada dalam PPM?




1.3    Tujuan dan manfaat penulisan
Tujuan dan manfaat penulisan ini ialah untuk memenuhi tugas matakuliah metode-metode pekerjaan sosial dan untuk memahami lebih dalam apa yang dimaksud dengan  pengorganisasian dan pengembangan masyarakat (PPM) atau community organization or community developmen t (COCD).



BAB II
PEMBAHASAN

 2.1  Pengertian Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat (PPM)
Community Organization adalah suatu proses untuk memelihara keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan sosial dengan sumber-sumber kesejahteraan sosial dari suatu masyarakat tertentu atau suatu bidang kegiatan tertentu (Arthur Dunham, 1958)
            Community Work adalah suatu proses membantu masyarakat untuk memperbaiki masyarakatnya melalui kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama (Alan Twevetrees, 1993)
            Masyarakat dalam konteks pengembangan dan pengorganisasian, diartikan sebagai sebuah ‘tempat bersama’ yakni sebuah wilayah geografi yang sama (Mayo, 1998), misalnya RT,RW,kampung di pedesaan, perumahan di perkotaan.          

            Menurut Murray G. Ross, PPM adalah suatu proses ketika suatu masayarakat berusaha menentukan kebutuhan-kebutuhan atau tujuan-tujuannya, mengatur atau menyusun, mengembangkan kepercayaan dan hasrat untuk memenuhinya, menentukan sumber-sumber (dari dalam ataupun dari luar masyarakat), mengambil tindakan yang diperlukan sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya ini, dan dalam pelaksanaan keseluruhannya, memperluas dan mengembangkan sikap-sikap dan prakti-praktik kooperatif dan kolaboratif di dalam masyarakat.
Definisi tersebut mengandung unsur-unsur yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
a)      Yang dimaksud istilah ”proses” adalah serentetan tindakan mulai dari penentuan masalah atau tujuan sampai pada pemecahan masalah atau tercapainya tujuan di dalam masyarakat.Berbagai proses dapat ditemukan dalam penanggulangan masalah-masalah kemasyarakatan.Dalam kaitan ini proses dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat agarb berfungsi sebagai satu kesatuan yang terintegrasi.Kemampuan ini tumbuh dan berkembang secara bertahap sebagi akibat upaya yang dilakukan masyarakat dalam menanggulangi masalah-masalahnya.
b)      Istilah “masyarakat” menunjukkan dua macam pengelompokkan orang, yaitu:
·         Keseluruahan orang yang tinggal di suatu daerah geografis, misalnya: desa, kota, propinsi, negara atau dunia.pada umumnya PPM dilaksanakan di daerah geografis yang sempit, tetapi juga dapat diterapkan untuk daerah-daerah yang lebih luas.
·         Kelompok orang yang memiliki minat-minat atau fungsi yang sama, misalnya di bidang: kesehatan, kesejahteraan, pendidikan, lingkungan dll.

c)      Proses “ menetukan kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan” berarti, cara yang dilakukan warga masyarakat untuk menentukan dan memusatkan perhatian pada masalah yang menganggu mereka serta menentukan tujuan-tujuan yang akan dicapai.Namun, dalam hal ini tidak seluruh warga masyarakat dapat dilibatkan dalam penentuan kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan.
d)     Menyusun atau mengatur kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan berarti, perlunya usaha untuk menentukan prioritas.Diantara berbagai jenis masalah dan tujuan, beberapa diantaranya berhubungan langsung dengan apa yang dirasakan, diyakini, dan ditanggapi oleh sebagian besar warga masyarakat.Hal-hal seperti inilah yang perlu dijadikan perhatian utama.Pada tahap ini petugas profesional dapat memberikan sumbangannya yang besar untuk proses pengungkapan keinginan atau kebutuhan masyarakat.
e)      Penemuan sumber-sumber (dari dalam atau dari luar masyarakat), mencakup upaya menemukan peralatan-peralatan, orang-orang, tehnik-tehnik, bahan-bahan dan sebagainya yang diperlukan untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang diperlukan.
f)       Mengambil tindakan-tindakan yaitu melakukan rangkaian kegiatan yang telah disebutkan sebelumnya.Proses ini harus mengarah pada tercapainya suatu hasil, meski hanya sebagian saja dari keseluruhan hasil yang diingankan.
g)      Memperluas dan mengembangkan sikap-sikap dan praktik-praktik kooperatif dan kolaboratif di dalam masyarakat.Ini berarti:
·         Pada saat proses berlangsung dan mengalami kemajua, warga masyarakat akan memulai memahami, menerima, dan saling bekerjasama.
·         Pada saat berlangsungnya proses penentuan dan penanggulangan masalah bersama, kelompok-kelompok bersama para pemimpinnya akan berusaha saling bekerjasama dalam kegiatan bersama, dan akan mengembangkan keterampilan-keterampilan dalam penanggulangan kesulitan-kesulitan dan konflik yang dihadapi masyarakat.

2.2  Tujuan Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat
Tujuan utama metode COCD adalah untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip partisipasi social.
2.3   Fungsi Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat
a.       Untuk memperoleh data dan fakta sebagai dasar untuk menyusun perencanaan dan melakukan tindakan yang sehat
b.      Memulai mengembangkan dan merubah program dan usaha-uasha kesejahteraan untuk memperoleh penyesuaian yang lebih baik antara sumber-sumber dan kebutuhan
c.       Meningkatkan standar pekerjaan sosial untuk meningkatkan efektifitas kerja dari lembaga-lembaga
d.      Meningkatkan dan memberikan fasilitas interelasi dan meningkatkan koordinasi antara organisasi, kelompok dan individu-individu yang terlibat dalam program dan usaha kesejahteraan sosial
e.       Mengembangkan pengertian umum dari masalah, kebutuhan dan metode pekerjaan sosial
f.       Mengembangkan dukungan dan paertisipasi masyarakat dalam aktifitas kesejahteraan sosial
 
2.4   Prinsip-prinsip dalam Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat
a.     Keseimbangan
           Mencari keseimbangan antara kebutuhan dengan sumber yang ada di masyarakat
b.    Individualisasi
           Masyarakat yg satu berbeda dgn masyarakat yg lainnya
c.     Penerimaan
           Masyarakat harus dipandang dan diterima sebagai mana adanya, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai langkah awal untuk mulai kegiatan/program
d.    Partisipasi
           Semua unsur masyarakat harus dilibatkan sehingga berperan aktif di dalam kegiatan


 2.5   Perspektif Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat (PPM)
Secara teoritis, PPM bisa dikatakan sebagai sebuah pendekatan pekerjaan sosial yang dikembangkan dari dua perspektif yang berlawanan, yakni aliran kiri (sosialis-Marxis) dan kanan (kapitalis-demokratis) dalam spektrum politik.Dewasa ini, terutama dalam konteks menguatnya sistem ekonomi pasar bebas dan swastanisasi dan keterlibatan informal dalam mendukung strategi penanganan dan kemiskinan dan penindasan, maupun dalam hal memfasilitasi partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
Twelvetress membagi perspektif teoritis PPM kedalam dua bingkai, yakni pendekatan profesional dan pendekatan radikal.Pendekatan profesional menunjukupaya untuk meningkatkan kemandirian dan memperbaiki sistem pemberian pelayanan dalam kerangka relasi-relasi sosial.Sementara berpijak pada teori Marxis, feminisme, dan analisis anti-rasis, pendekatan radikal lebih terfokus pada upaya pemberdayaan kelompok-kelompok lemah, mencari sebab-sebab kelemahan mereka,serta menganalisis sumber-sumber ketertindasannya.Sebagaimana diungkapkan oleh Payne, “This the type of approach which supports minority ethnic communities, for example, in drawing attention to inequalities in service provision and power which lie behind severe deprivation”.Pendekatan profesional dapat diberi label sebagai yang bermatra tradisional, netral dan teknikal.Sedangkan pendekatan radikal diberi label sebagai pendekatan yanng bermatra transformasional.


Dua perspektif Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat
Pendekatan
Perspektif
Tujuan/asumsi
Profesional (tradisional, netral, teknikal)
·         Perawatan masyarakat
·         Pengorganisasian masyarakat
·         Pembangunan masyarakat

·         Meningkatkan inisiatif dan kemandirian masyarakat
·         Memperbaiki pemberian pelayanan sosial dalam kerangka relasi sosial yang ada
Radikal (transformasional)
·         Aksi masyarakat berdasarkan kelas
·         Aksi masyarakat berdasarkan jender
·         Aksi masyarakat berdasarkan ras
·         Meningkatkan kesadaran dan inisiatif masyarakat
·         Memberdayakan masyarakat guna mencari akar penyebab ketertindasan dan diskriminasi
·         Mengembangkan strategi dan membangun  kerjasama dalam melakukan perubahan sosial sebagai bagian dari upaya mengubah relasi sosial yang menindas, deskriminatif, dan eksporatif.


2.2   Model Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat
Jack Rothman (1995: 27-34), dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Approaches to community intervention”, mengembangkan tiga model yang berguna dalam memahami konsep tentang PPM:
1)      Pengembangan masyarakat lokal (PML)
2)      Perencanaan sosial (PS)
3)      Aksi sosial (AS)
Paradigma ini merupakan format ideal yang dikembangkan terutama untuk tujuan analisis dan konseptualisasi.Dalam praktiknya, ketiga model tersebut saling bersentuhan satu dengan yang lainnya.Setiap komponennnya bisa digunakan secara kombinasi dan stimultan sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang ada.
a.       Model  Pengembangan Masyarakat Lokal (PML)
Model PML memberikan perubahan dalam masyarakat dapat dilakukan secara optimal apabila melibatkan partisipasi aktifyang luas di semua spektrum masyarakat tingkat lokal, baik dalam tahap penetuan perubahan.PML adalah proses yang dirancang untuk mendapatkan kondisi sosial ekonomi yang lebih maju dan sehat bagi seluruh masyarakat melalui partisipasi aktif mereka serta berdasarkan kepercayaan yang penuh terhadap prakarsa mereka sendiri.Strategi dasar yang digunakan untuk memecahkan permasalahan ini adalah usahan penciptaan dan pengembangan partisipasi yang lebih luas dari seluruh warga masyarakat.Tema-tema pokok dalam model PML mencakup penggunaan prosedur demokrasi dan kerjasama atas dasar kesukarelaan, keswadayaan, pengembangan, kepemiminan setempat, dan tujuan yang bersifat pendidikan.PML pada dasarnya merupakan proses interaksi antara anggota masyarakatsetempat yang difasilitasi oleh pekerja sosial.Pekerja sosial membantu meningkatkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan mereka dalam mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan.

b.      Model Perencanaan Sosial (PS)
Model ini menekan ka proses pemecahan masalah secara teknis terhadap masalah sosial substantif , seperti: kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja, kebodohan dll.
Selain itu, model PS ini mengungkap pentingnya menggunakan cara perencanaan yang matang dan perubahan yang terkendali yakni untuk mencapai tujuan akhir secara sadar dan rasional dan dalam pelaksanaannya dilakukan pengawasan-pengawasan yang ketat untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi.
Strategi dasar yang digunakan untuk memecahkan permasalahan adalah denagn mengumpulkan atau menungkapkan fakta dan data mengenai suatu permasalahan.Kemudian, mengambil tindakan yang rasional dan mempunyai kemungkinan-kemungkin yang dapat dilaksanakan.
Berbeda dengan PML, PS lebih berorientasi pada “tujuan tugas”.Sistem klien PML umumnya kelompok-kelompok yang kurang beruntung.

c.       Model Aksi Sosial (AS)
Model AS ini menekankan betapa gentingnya penanganan secara terorganisasi, terarah, dan sistematis terhadap kelompok yang tidak beruntung.Juga meningkatkan kebutuhan yang memadai bagi masyarakat yang lebih luas dalam rangka meningkatkan sumber atau perlakuan yang lebih sesuai dengan keadilan sosial dan nilai-nilai demokratisasi.
Tujuan yang ingin dicapai adalah mengubah sistem atau kebijakan pemerintah secara langsung dalam rangaka menanggulangi masalah yang mereka hadapi sendiri.Dalam kaitan ini, Suharto (1996) menjelaskan tujuan dan sasaran utama AS adalah perubahan-perubahan fundamental dalam kelembagaan pada stuktur masyarakat melaui proses pendistribusian kekuasaan (distribution of resourches) dan pengambilan keputusan (distribution of decisison making). 

2.3    Bias Pengorganisasian dan Pengembangan  Masyarakat
Pelaksanaan PPM sebaiknya didasari oleh masalah dan kebutuhan sesuia dengan karakteristik geografis, idiografi , potensi, teknologi, dan sumberdaya lokal serta pelibatan aktif masyarakat secara integral.Namun, dalam realitasnya PPM seringkali terjebak oleh bias, miskonsepsi, atau kesalahan pemikiran.PPM perlu menghindari bias ini.
Robert Chambers sebagaimana dikutip oleh Suharto (1996 :4) mengemukakan lima bias yang sering terjadi dalam pelaksanaan PPM, terutama dipedesaan: spatial bias, project bias, person bias, dry season bias,dan profesional bias.
a)      Spatial Bias
PPM seringkali hanya dilaksanakan di lokasi-lokasi yang mudah dijangkau sarana transportasi seperti di daerah pinggiran kota, pinggir jalan raya, atau lokasi-lokasi yang dekat dengan kantor pemerintahan.
b)      Project Bias
Kebanyakan PPM dilakukan pada masyarakat yang telah menerima proyek sebelumnya, karena dipandang telah mampu dan berhasil menjalankan proyek.
c)      Person Bias
Kelompok elite dalam masyarakat, tokoh masyarakat, kaum lelaki, para penerima, dan pengguna inovasi serta orang-orang yang aktif dalam kegiatan pembangunan ad

alah mereka yang kerap menerima program dan berkah pembangunan.Sementara kelompok masyarakat kelas bawah yang kurang memiliki akses terhadap jaringan sumber-sumber yang ada.
d)     Dry Sesion Bias
Kesulitan dan masalah yang dihadapi masyarakat umumnya mencapai puncaknya pada musim hujan.Kegagalan panen, banjir, kelaparan, masalah kesehatan diri dan terjadi pada musim sulit.
e)      Profesional Bias
Bias ini timbul terutama oleh konsepsi yang memandang bahwa kelompok masyarakat kurang beruntung sebagai kelompok lemah, memiliki pengetahuan rendah, pasif, malas, fatalis, serta ciri-ciri lain budaya kemiskinan (culture of proverty).Sementara itu para ahli, penguasa, dan pengusaha adalah raja yang memegang hegemoni dan kendali pembanguan.
f)       Physical Bias
Umumnya masyarakat hanya mengenal dan mengakui program atau proyek yang bersifat fisik, seperti pembangunan, gedung, jembatan, dll.
g)      Financial Bias
Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh suatu departemen kerapkali dipandang sebagai bukti keberhasilan suatu progam.Fiunancial Bias disebabkan oleh kesalahan pemikiran yang membaurkan prinsip efisiensi vis a vis prinsip efektivitas sebagai tolak ukur keberhasilan proyek.
h)      Indicator Bias
Bias ini terutama berkaitan dengan aspek uncountability pada program yang berorientasi sosial.Dampak keberhasilan program sulit diukur secara langsung dan kuantitatif, serta banyaknya eksternal variabel yang terkontaminasi kedalam mainstream proyek. 



DAFTAR PUSTAKA

Hurairah, Abu.2008.Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat;Model dan Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan.Bandung: Humaniora
Suharto, Edi.1996.Pengembangan dan Pengorganisasian Masyarakat.Makalah ini disampaikan pada Pemebekalan Mahasiswa Peserta KKN-Subang,STKS Bandung,30 oktober 1996.